ABU NAWAS SANG WALI ALLAH YANG PANDAI BERSYAIR
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia
dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran
sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di
tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer
Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja
sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian
membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai
ilmu pengetahuan. Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat
Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab
Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual,
di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan.
Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa. Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami.
Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin. Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Berikut salah satu kisah Jenaka Abu Nawas. Demi Tata Krama Kepada Raja Konon di Zaman Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang ada cuma sungai atau kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja merasa perutnya sedang sakit, dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak kompromi. Seketika itu juga raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.
Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan. Dan Sudah masyhur di kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di khawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang raja. Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang raja.
Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh kocak Abu Nawas, Abu Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, sehingga sang raja tidak melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba – tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah terkejutnya, ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.
kontan saja hal itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan menangkap orang yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan santainya. Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan raja untuk di hukum.
Ketika di hadapkan pada raja, Abu Nawas memprotes pada raja kenapa dia di tangkap dan akan dihukum.
Raja pun menjawab : ”Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Nawas, perbuatanmu itu telah melecehkan privasiku, kamu telah menginjak – injak harga diriku, kamu memang tidak punya tata krama !!! bentak sang raja. “Berani – beraninya kamu berak di sebelah utaraku, sehingga kotoranmu mengenai badanku, selama ini tidak pernah seorangpun dari rakyatku berani melakukan perbuatan sepertimu” wahai Abu Nawas” Tambah sang raja dengan nada sangat kesal. “Kini kamu harus menerima hukuman dariku”
“Maaf, tunggu sebentar wahai raja ” sela Abu nawas. “Ada apa? tanya raja, “kali ini tidak ada lagi ampun bagimu Abu nawas” “Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya. “Saya melakukan itu semua, karena saya sangat menghormati engkau wahai raja” mendegar hal itu, raja harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh abu nawas.
“Lho perbuatan seperti itu , kamu bilang malah untuk menghormati aku???” tanya raja dengan ekspresi agak sedikit keheranan. “Ya benar raja ” jawab abu nawas dengan tegasnya. Rajapun semakin keheranan dan penasaran dengan abu nawas. “Baiklah kali ini aku kasih kamu kesempatan untuk menjelaskan alasannya, jika alasanmu tidak masuk akal maka aku tidak segan – segan untuk memperberat hukumanmu.”
“Baiklah raja, begini alasannya. Raja tahu, selama ini jika raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal , tidak ada satupun dari rakyat atau pengawal raja yang berani mendahului jalannya raja, begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan raja , posisi saya ketika berjalan tidak berani mendahului raja, itu saya lakuakan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada raja”
“Ya bagus, lha terus apa hubungannya dengan perbuatanmu yang sekarang ini??” tanya raja dengan nada semakin penasaran dengan akal cerdik abu nawas. “Begini raja, saya menghormati engkau tidak setengah – setengah, melainkan saya menghormati engkau dengan sepenuh hati . Ketika saya buang hajat , saya memilih di sebelah utara raja, dan sama sekali , saya tidak berani berak berada di sebelah selatan raja. Hal ini saya lakukan karena saya kuatir, jika saya berak di sebelah selatan raja, maka nanti kotoran saya berlaku tidak sopan kepada kotoran raja, karena sudah berani berjalan mendahuli kotoran raja.
sehingga saya memilih berak di sebelah utara, agar supaya kotoran saya tidak sampai mendahului kotoran raja. Ini semua saya lakuakan tidak lain, hanya demi Tata krama saya kepada kotoran raja. Terus terang wahai baginda, kotoran saya tidak berani mendahului kotoran raja, karena hal itu merupakan perbuatan su’ul adab. Ketika raja berjalan, saya tidak berani mendahului jalan raja, begitu juga ketika kotoran raja mengalir, maka kotoran saya pun tidak berani mendahului kotoran raja.
Ini semua saya lakuakn karena Sopan santun dan tata krama saya yang sepenuh hati kepada raja.” “Malah yang seharusnya diberi hukuman bukan saya wahai raja , melainkan rakyat engkau yang tidak punya tata krama, karena mereka berani berak di sebelah selatanmu, sehingga kotoran mereka mendahului kotoranmu. “ Mendengar penjelasan Abu nawas, raja pun tersennyum. dia tidak jadi marah dan menghukum Abu nawas, tetapi oleh sang raja Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal. Sejak kejadian itu, raja pun menginstruksikan kepada rakyatnya untuk berak di sebelah utara sang raja, demi menjaga kesopanan kepada kotoran sang raja.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan.
Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa. Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami.
Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin. Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Berikut salah satu kisah Jenaka Abu Nawas. Demi Tata Krama Kepada Raja Konon di Zaman Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang ada cuma sungai atau kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja merasa perutnya sedang sakit, dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak kompromi. Seketika itu juga raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.
Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan. Dan Sudah masyhur di kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di khawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang raja. Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang raja.
Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh kocak Abu Nawas, Abu Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, sehingga sang raja tidak melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba – tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah terkejutnya, ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.
kontan saja hal itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan menangkap orang yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan santainya. Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan raja untuk di hukum.
Ketika di hadapkan pada raja, Abu Nawas memprotes pada raja kenapa dia di tangkap dan akan dihukum.
Raja pun menjawab : ”Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Nawas, perbuatanmu itu telah melecehkan privasiku, kamu telah menginjak – injak harga diriku, kamu memang tidak punya tata krama !!! bentak sang raja. “Berani – beraninya kamu berak di sebelah utaraku, sehingga kotoranmu mengenai badanku, selama ini tidak pernah seorangpun dari rakyatku berani melakukan perbuatan sepertimu” wahai Abu Nawas” Tambah sang raja dengan nada sangat kesal. “Kini kamu harus menerima hukuman dariku”
“Maaf, tunggu sebentar wahai raja ” sela Abu nawas. “Ada apa? tanya raja, “kali ini tidak ada lagi ampun bagimu Abu nawas” “Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya. “Saya melakukan itu semua, karena saya sangat menghormati engkau wahai raja” mendegar hal itu, raja harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh abu nawas.
“Lho perbuatan seperti itu , kamu bilang malah untuk menghormati aku???” tanya raja dengan ekspresi agak sedikit keheranan. “Ya benar raja ” jawab abu nawas dengan tegasnya. Rajapun semakin keheranan dan penasaran dengan abu nawas. “Baiklah kali ini aku kasih kamu kesempatan untuk menjelaskan alasannya, jika alasanmu tidak masuk akal maka aku tidak segan – segan untuk memperberat hukumanmu.”
“Baiklah raja, begini alasannya. Raja tahu, selama ini jika raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal , tidak ada satupun dari rakyat atau pengawal raja yang berani mendahului jalannya raja, begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan raja , posisi saya ketika berjalan tidak berani mendahului raja, itu saya lakuakan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada raja”
“Ya bagus, lha terus apa hubungannya dengan perbuatanmu yang sekarang ini??” tanya raja dengan nada semakin penasaran dengan akal cerdik abu nawas. “Begini raja, saya menghormati engkau tidak setengah – setengah, melainkan saya menghormati engkau dengan sepenuh hati . Ketika saya buang hajat , saya memilih di sebelah utara raja, dan sama sekali , saya tidak berani berak berada di sebelah selatan raja. Hal ini saya lakukan karena saya kuatir, jika saya berak di sebelah selatan raja, maka nanti kotoran saya berlaku tidak sopan kepada kotoran raja, karena sudah berani berjalan mendahuli kotoran raja.
sehingga saya memilih berak di sebelah utara, agar supaya kotoran saya tidak sampai mendahului kotoran raja. Ini semua saya lakuakan tidak lain, hanya demi Tata krama saya kepada kotoran raja. Terus terang wahai baginda, kotoran saya tidak berani mendahului kotoran raja, karena hal itu merupakan perbuatan su’ul adab. Ketika raja berjalan, saya tidak berani mendahului jalan raja, begitu juga ketika kotoran raja mengalir, maka kotoran saya pun tidak berani mendahului kotoran raja.
Ini semua saya lakuakn karena Sopan santun dan tata krama saya yang sepenuh hati kepada raja.” “Malah yang seharusnya diberi hukuman bukan saya wahai raja , melainkan rakyat engkau yang tidak punya tata krama, karena mereka berani berak di sebelah selatanmu, sehingga kotoran mereka mendahului kotoranmu. “ Mendengar penjelasan Abu nawas, raja pun tersennyum. dia tidak jadi marah dan menghukum Abu nawas, tetapi oleh sang raja Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal. Sejak kejadian itu, raja pun menginstruksikan kepada rakyatnya untuk berak di sebelah utara sang raja, demi menjaga kesopanan kepada kotoran sang raja.
Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu
Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar kepada shahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: “tidak mau ruku’ dan sujud dalam shalat.” … Lebih-lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa, … “khalifah yang suka fitnah!” … Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar syariat Islam dengan menebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung, ada seorang pembatunya yang nampaknya biasa-biasa saja (orangnya sangat besahaja) memberi saran, … hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu kepada Abu Nawas. Tak berapa lama, … Abu Nawas pun dipanggil dan digeret menghadap Khalifah, … Kini, ia menjadi pesakitan. “Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” .. tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, “Benar Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, “Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, … “Benar Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan suara yang menggelegar, “Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menerbarkan fitnah tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, … “Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya, kabar yang sampai padamu tidak lengkap, … kata-kataku diplintir, … dijagal, … seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, … “Apa maksudmu, jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya!”
Abu Nawas beranjak dari duduknya, dan menjelaskan dengan tenang, … “Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam shalat apa? … Waktu itu, aku menjelaskan tata-cara shalat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
… “Bagaimana soal aku yang suka fitnah?”, … tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, … “Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat al-Anfal, yang berbunyi “ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu.” Sebagai khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka “fitnah” (ujian) itu.” … Mendengar penjelasan Abu Nawas yang juga kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.
Rupa-rupanya kedekatan Abu Nawas dengan khalifah Harun al-Rasyid menyulut rasa iri dan dengki di antara pembatu-pembatu khalifah lainnya. Kedekatan hubungan ini nampak ketika Abu Nawas memanggil Khalifah Harun al-Rasyid dengan kata “ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan lagi seperti hubungan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutar-balikkan berita.
Perjalanan Abu Nawas dalam Pencarian Allah
Abu Nawas memang sudah terganggu akal fikirannya. Banyak persoalan mengenai mengenal diri masih belum terjawab. Makin banyak dia berusaha makin banyak lagi persoalan yang timbul. Sahabat handai sudah mula berkata-kata yang Abu Nawas kurang siuman.
Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar kepada shahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: “tidak mau ruku’ dan sujud dalam shalat.” … Lebih-lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa, … “khalifah yang suka fitnah!” … Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar syariat Islam dengan menebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung, ada seorang pembatunya yang nampaknya biasa-biasa saja (orangnya sangat besahaja) memberi saran, … hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu kepada Abu Nawas. Tak berapa lama, … Abu Nawas pun dipanggil dan digeret menghadap Khalifah, … Kini, ia menjadi pesakitan. “Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” .. tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, “Benar Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, “Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, … “Benar Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan suara yang menggelegar, “Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menerbarkan fitnah tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, … “Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya, kabar yang sampai padamu tidak lengkap, … kata-kataku diplintir, … dijagal, … seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, … “Apa maksudmu, jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya!”
Abu Nawas beranjak dari duduknya, dan menjelaskan dengan tenang, … “Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam shalat apa? … Waktu itu, aku menjelaskan tata-cara shalat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
… “Bagaimana soal aku yang suka fitnah?”, … tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, … “Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat al-Anfal, yang berbunyi “ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu.” Sebagai khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka “fitnah” (ujian) itu.” … Mendengar penjelasan Abu Nawas yang juga kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.
Rupa-rupanya kedekatan Abu Nawas dengan khalifah Harun al-Rasyid menyulut rasa iri dan dengki di antara pembatu-pembatu khalifah lainnya. Kedekatan hubungan ini nampak ketika Abu Nawas memanggil Khalifah Harun al-Rasyid dengan kata “ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan lagi seperti hubungan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutar-balikkan berita.
Perjalanan Abu Nawas dalam Pencarian Allah
Abu Nawas memang sudah terganggu akal fikirannya. Banyak persoalan mengenai mengenal diri masih belum terjawab. Makin banyak dia berusaha makin banyak lagi persoalan yang timbul. Sahabat handai sudah mula berkata-kata yang Abu Nawas kurang siuman.
Namun begitu Abu Nawas
tidak mengindahkan mereka. Yang penting dia akan sampai ke matlamatnya
yaitu mengenal diri dan Tuhannya. Kini Abu Nawas terus berusaha dan cuba
menempatkan dirinya sebagai fakir iaitu orang yang berjalan mencari
Tuhan.
Setiap hari dia berbaju putih dari kain yang agak kasar.
Mengikat kepala dengan serban putih, berseluar putih dan bahkan
segala-galanya putih. Kemana-mana dia berjalan kaki. Dia tahan tidak
makan kerana dia beranggapan apabila kurang makan maka dia kan dapat
mengawal nafsunya. Nafsu perlu dikawal untuk perjalanan bertemu Tuhan
katanya. Setiap orang yang dijumpainya diajaknya senyum. Tingkah lakunya
tidak ubah seperti cerita sufi di zaman Andalusia.
“Saya mesti
bersih kerana Allah itu juga bersih. Saya juga mesti didalam keadaan
berwuduk, sebab Allah adalah Maha Suci. Dan Allah juga Maha Pengasih,
sebab itulah aku melihat orang dengan senyuman”.
Melihat tingkah
lakunya yang demikian, maka orang-orang yang tidak mengerti sudah
menilai Abu Nawas sebagai seorang sufi. Atau setidak-tidaknya orang
berkata bahawa dia seorang ahli tasawwuf. Padahal dia baru bertarekat
berjalan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang Guru Mursyid atau Syeikh,
apalagi tidak merujuk kepada Al Qur’an dan Hadith sebagai pegangan
utama. Sudah pasti dia akan sesat jalan. Bahkan fikirannya terganggu
seperti orang yang kurang siuman.
Didalam perjalanan ini, ada
juga orang yang meminum air tongkat gurunya dan bahkan ada yang menginap
tujuh hari tujuh malam di makam guru. Itu pun sudah dilakukan oleh Abu
Nawas. Abu Nawas sudah semakin jauh dari tujuan asalnya. Namun begitu,
Abu Nawas masih tetap pada pendiriannya bahawa menginap di makam para
Wali sebagaimana orang lain melakukannya mungkin ada kebenarannya.
Dengan tiba-tiba dia berteriak, “Memang gila !”. Orang-orang yang
berada disekelilingnya terperanjat dan melihat kepadanya. “Apanya yang
gila Abu ?” Tanya mereka yang sama-sama menginap di makam wali itu.
“Cuba kamu lihat ayat ini”, tunjuk Abu Nawas kepada mereka tentang
sepotong ayat dari tafsif Al Qur’an yang dipinjamnya dari penjaga kunci
makam tersebut.
“Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan
kami mengetahui apa-apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan kami lebih
dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Qaf, 50:16)
“Jadi
kenapa ?”, tanya mereka yang hadir. “Memang kamu semua lembab fikiran !
Kan ayat ini mengatakan bahawa pada setiap umat manusia ada Allah. Pada
saya ada Allah, pada kamu juga ada Allah. Bukankah Allah menjadi Maha
Banyak. Padahal semua guru mengatakan bahawa Allah itu Maha Esa”.
Mereka semua tercengang dan terdiam. Didalam hati masing-masing mereka
berkata betul juga kata orang gila ini. Yang lain-lainnya ada juga
berpendapat tidak mungkin Allah itu banyak. Kalau Allah itu banyak, maka
Allah akan bergaduh sesama sendiri. Bukankah Nabi Ibrahim pernah
bertanya soalan yang sama kepada bapanya. Yang hadir semua berfikir dan
ada yang akan bertanya kepada gurunya nanti.
Bagi Abu Nawas
bertambah lagi satu penyakit dalam dirinya. Pertanyaan yang tersimpan
dan tidak terjawab akan membuatkan seseorang semakin terganggu saraf
pemikirannya. Namun begitu yang semakin parah adalah apabila orang awam
sudah mula menghormati Abu Nawas sebagai seorang Syeikh. Kata mereka
memang orang-orang yang hampir dengan Tuhan tidak boleh difahami dan
selalu bersikap eksentrik.
Ketika Abu Nawas asyik termenung
memikirkan persoalannya, tiba-tiba dari sebelah kanan datang seseorang
berbisik kepada Abu Nawas. “Bermohonlah kepada Allah untuk mendapatkan
kemudahan dan bimbingan. Mudah-mudahan nanti seorang Guru akan datang
untuk menjawab pertanyaan yang merungsingkan kamu”. Kemudian orang itu
terus menghilang.
Ambillah pelajaran yang betul dari perjalanan Abu Nawas ini. Gilaplah cermin diri kita untuk kembali kepada Tuhan.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat
menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya
mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat
Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan
mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya
yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni
kubur yang sudah lama."
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon menurut
pandangan orang yang awam tetapi bukanlah sebuah lelucon bagi seorang
Wali Allah, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan
dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam
lelucon dan tawa
Salah satu Syairnya :
Syair Al 'Itiraf [Pengakuan] Abu Nawas
Salah satu Syairnya :
Syair Al 'Itiraf [Pengakuan] Abu Nawas
Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar
Dosaku seperti jumlah pasir
Maka terimalah pengakuan taubatku Wahai Pemilik Keagungan
Dan umurku berkurang setiap hari
Dan dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu
Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu
Seandainya Engkau mengampuni
Memang Engkaulah Pemilik Ampunan
Dan seandainya Engkau menolak taubatku
Kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU
Yakni, ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya yang sia-sia. Salat
lima waktu tak pernah dihiraukan. Dan hanya kepada Allah, Yang Maha
Tinggi ia berdoa mohon pengampunan, seperti yang telah Allah berikan
kepada Nabi Yunus.
Keyakinan agamanya banyak dibahas orang. Mereka menilai penyair ini dari puisi-puisinya yang beraneka ragam. Hampir semua yang dialaminya dan yang begejolak dalam pikirannya tertuang secara gamblang dalam puisi-puisinya. Orang menilai, bahwa keimanannya kepada Allah kuat sekali, begitu juga terhadap pengampunan-Nya lebih besar:
Begitu besar dosaku
Setelah kubandingkan dengan sifat kepengampunan-Mu
Ya Allah
Pengampunan-Mu lebih besar.
Mengenai harapan akan pengampunan Allah sajak berikut ini terkenal sekali, dijalin dalam kata-kata yang sangat mengharukan:
Tuhanku, kalau pun dasaku sudah begitu besar, begitu banyak
Aku pun tahu, sifat pengampunan-Mu lebih besar
Kalau yang berharap kepada-Mu hanya orang yang saleh
Kepada siapa orang yang berdosa ini akan berlindung?
Seruanku hanya kepadamu, ya Allah
Dengan sepenuh hati, seperti perintah-Mu
Kalaupun tanganku ini Kautolak
Siapalagi yang akan mengampuniku?
Tak ada jalan lain bagiku kepada-Mu
Hanya harapan dan pengampunan-Mu yang begitu indah
Di samping semua itu, aku seorang muslim (berserah diri).
Puisi-puisi zuhud-nya atau puisi keagamaan Abu Nawas memang tidak begitu banyak jumlahnya, dan dibuat pada masa tuanya. Tetapi dari segi kedalamannya dinilai banyak kritikus sastra melebihi puisi-puisi keagamaan para penyair lain yang sejaman dengannya. Sebagi penyair, baik dalam puisi mujun atau puisi zuhud, dari segi ungkapan, penggunaan kata, dan kedalaman isi, dalam sejarah sastra Islam
Keyakinan agamanya banyak dibahas orang. Mereka menilai penyair ini dari puisi-puisinya yang beraneka ragam. Hampir semua yang dialaminya dan yang begejolak dalam pikirannya tertuang secara gamblang dalam puisi-puisinya. Orang menilai, bahwa keimanannya kepada Allah kuat sekali, begitu juga terhadap pengampunan-Nya lebih besar:
Begitu besar dosaku
Setelah kubandingkan dengan sifat kepengampunan-Mu
Ya Allah
Pengampunan-Mu lebih besar.
Mengenai harapan akan pengampunan Allah sajak berikut ini terkenal sekali, dijalin dalam kata-kata yang sangat mengharukan:
Tuhanku, kalau pun dasaku sudah begitu besar, begitu banyak
Aku pun tahu, sifat pengampunan-Mu lebih besar
Kalau yang berharap kepada-Mu hanya orang yang saleh
Kepada siapa orang yang berdosa ini akan berlindung?
Seruanku hanya kepadamu, ya Allah
Dengan sepenuh hati, seperti perintah-Mu
Kalaupun tanganku ini Kautolak
Siapalagi yang akan mengampuniku?
Tak ada jalan lain bagiku kepada-Mu
Hanya harapan dan pengampunan-Mu yang begitu indah
Di samping semua itu, aku seorang muslim (berserah diri).
Puisi-puisi zuhud-nya atau puisi keagamaan Abu Nawas memang tidak begitu banyak jumlahnya, dan dibuat pada masa tuanya. Tetapi dari segi kedalamannya dinilai banyak kritikus sastra melebihi puisi-puisi keagamaan para penyair lain yang sejaman dengannya. Sebagi penyair, baik dalam puisi mujun atau puisi zuhud, dari segi ungkapan, penggunaan kata, dan kedalaman isi, dalam sejarah sastra Islam